Pentingnya Pendidikan Karakter di Tengah Krisis Moral

Oleh : Erniawati M.Pd Guru MTs Muhammadiyah 15 Lamongan-Al Mizan

pwmu.co – Kita sedang hidup di era anak-anak sangat menguasai rumus-rumus matematika yang rumit. Anak-anak yang fasih berbahasa asing. Bahkan mereka mampu bersaing dalam ajang olimpiade sains.

Secara bersamaan pula kita sering mendengar kabar tentang perundungan di sekolah. Rendahnya  empati antar sesama sebaya. Juga perilaku negatif seperti penyalahgunaan teknologi dan rendahnya sikap hormat terhadap guru maupun orang tua.

Fenomena ini menegaskan bahwa kecerdasan akademik tidak selalu linier dengan keluhuran budi pekerti.

Pertanyaan fundamentalnya: “apakah pendidikan masih bersungguh-sungguh menjadikan karakter sebagai pondasi utama anak?

Diakui atau tidak, kini anak-anak lebih banyak yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang lebih peduli pada capaian kognitif, seperti: nilai ujian, rangking kelas, serta prestasi akademik lainnya.

Tapi sisi yang lain, aspek sikap perilaku anak seringkali justru terabaikan.

Akibatnya, anak-anak umumnya lebih hebat berhitung, tetapi gagap dalam menghargai orang lain. Mampu mempresentasikan materi dengan baik, tetapi gagal mengendalikan emosi saat terjadi perbedaan pendapat.

Dapat kita cermati fenomena bullying yang terus berulang di sekolah-sekolah di negeri ini. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus perundungan masih mendominasi aduan terkait pendidikan.

Ironisnya, pelaku bullying rata-rata justru dari golongan siswa yang kategori cerdas, populer, dan memiliki posisi “unggul” di sekolah.

Ini membuktikan bahwa kecerdasan kognitif bukan jaminan pemiliknya mempunyai kelembutan hati. Krisis moral inilah yang seharusnya membuat kita semua, khususnya dunia pendidikan, merasa prihatin.

Pendidikan Karakter: Bukan Sekadar Formalitas

Pendidikan karakter sering menggaung sebagai program utama pemerintah, bahkan sudah masuk dalam kurikulum pendidikan.

Persoalannya, praktik di lapangan justru seringkali menampakkan hal yang sebaliknya — kecuali hanya sebatas formalitas.

Guru diminta memasukkan nilai karakter ke dalam RPP atau laporan penilaian. Tetapi esensi dari pendidikan karakter — yakni pembiasaan, keteladanan, dan penghayatan — justru kerapkali terabaikan.

Perlu dipahami, pendidikan karakter tidak membutuhkan waktu khusus, melainkan bagaimana seluruh proses pendidikan dipenuhi dengan contoh atau teladan nyata.

Anak belajar lebih banyak dari apa yang ia lihat dibanding apa yang ia dengar. Maka ketika guru menekankan tentang kejujuran tetapi di saat yang sama membiarkan praktik ketidakjujuran kecil, anak akan lebih mudah meniru sikap yang salah ketimbang nasihat baik.

Esensi pendidikan

Krisis moral kian mengerikan seiring semakin derasnya arus informasi dari media sosial. Generasi muda lebih sering menghabiskan waktu di depan layar dibanding berdialog dengan orang tua atau berinteraksi sehat dengan lingkungan.

Di dunia digital, mereka dengan mudah menemukan konten negatif, ujaran kebencian, hingga budaya hedonisme yang berlebihan.

Tanpa fondasi karakter yang kuat, anak-anak mudah hanyut dan kehilangan jati diri.

Karena itulah, pendidikan karakter tidak bisa ditunda-tunda lagi. Jangan hanya dianggap sebagai pelengkap pelajaran. Di era maraknya informasi ini, kemampuan memilah mana informasi yang baik dan informasi mana yang buruk menjadi kunci.

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Kata kunci “menuntun” menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan juga pembinaan jiwa.

Sekolah tidak sekedar bertugas mencetak generasi pandai secara akademik. Sekolah juga harus membentuknya menjadi pribadi yang berakhlak, menghargai perbedaan, memiliki empati, serta mampu menjadi bagian dari solusi. Bukan justru menjadi sumber masalah.

Tanpa karakter yang baik, ilmu pengetahuan bisa berubah menjadi senjata yang merusak, bukan justru menyelamatkan.

Bagaimana menegakkan pendidikan karakter?

Ada beberapa langkah konkret yang perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu:

  1. Keteladanan dari guru dan orang tua. Karena anak lebih mudah belajar dari apa yang ia lihat. Guru yang konsisten bersikap adil, orang tua yang sabar, dan lingkungan yang penuh hormat akan lebih membekas daripada seribu kata nasehat.
  2. Pembiasaan, bukan hanya pengajaran. Karakter tidak bisa ditanamkan dalam bentuk ceramah. Ia tumbuh dari pembiasaan sehari-hari, seperti: budaya antri, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, atau berbagi dengan sesama.
  3. Lingkungan sekolah yang ramah. Sekolah harus menjadi dan menyediakan tempat yang aman, bebas dari bullying, diskriminasi, maupun kekerasan verbal. Setiap anak harus berhak merasa diterima dan dihargai.
  4. Penguatan pendidikan keluarga. Pendidikan karakter selain menjadi tugas sekolah, juga menjadi tanggung jawab utama orang tua. Orang tua harus mengambil inisiatif dalam membangun komunikasi, memberikan waktu, serta menjadi role model yang nyata.
  5. Pemanfaatan teknologi secara positif. Anak harus belajar literasi digital: bagaimana menggunakan media sosial dengan bijak, menghargai privasi orang lain, dan tidak menyebarkan kebencian.

Membangun pendidikan karakter bukan hanya tugas guru, melainkan tanggung jawab keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah.

Masyarakat harus sadar bahwa pendidikan karakter merupakan investasi jangka panjang. Bangsa ini tidak hanya butuh orang-orang cerdas dalam membangun gedung dan teknologi.

Tetapi juga pribadi-pribadi berkarakter yang mampu menjaga keadilan, empati, dan kemanusiaan.***

*) Editor : Notonegoro

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kepala Madrasah
Alimah, S.Pd.I

Mari bergabung dan belajar bersama di MTs Muhammadiyah 15 Al-Mizan. Dapatkan pengalaman belajar yang berharga dan berkesan

Follow us on
Facebook
Pinterest
WhatsApp
Telegram
Twitter